Rabu, 19 Mei 2010

SENANDUNG KELUARGA LAILA

SENANDUNG KELUARGA LAILA......

Allah..huakbar, Allah..huakbar, Allah..huakbar…la…illa.. hailallahuallohhuakbar, Allahhuakbar walillahilham! Terdengar suara gema takbir yang dikumandangkan oleh beberapa warga di mushola miftahul Jannah. Dari anak kecil samapi orang tua. Ada yang memukul bedug, kayu berbentuk ikan, sampai kepingan besipun ikut serta dipukul merayakan takbiran yang biasa dilakukan setahun sekali itu semalaman suntuk hingga pagi menjelang. Mereka bergembira bersama setelah berpuasa ramadhan 1 bulan dan akan merayakan hari Lebaran esok harinya.

Namun kegembiraan tersebut rasanya tidak sama bagi keluarga bapak Imran. Karena 2 minggu yang lalu, anak bungsunya meninggal dunia di usianya yang ke 14 tahun. Sungguh begitu memilukan, karena Nurmala meninggal karena tertabrak mobil saat hendak mengantar makanan untuk berbuka puasa ayahnya di pasar. Ia terbentur ke aspal, dan terus-terusan mengeluarkan darah dari keplanya. Akibatnya, nyawanya tidak bisa tertolong lagi. Kalupun selamat, mungkin dia bisa hilang ingatan.

Sudahlah mah, jangan melamun terus-terusan. Nanti mamah jadi sakit gimana?”

Mamah kangen sama Nurmala. Walaupun kadang-kadang dia suka bandel, tapi dia anak yang manis yah la.”

Mah, aku sama Nurmala kan kembar, jadi kalau mamah kangen mamah bisa liat laila kan.” Liala berusaha menghibur ibunya.

Ah, kamu bisa aja la. Tapi tetep aja kamu beda walaupun muka mu kembar. Nurmala anaknya pemberani, tapi kalau kamu pemalu tapi suka usil.”

HAHAHA…Iya yah bu.’

Eh, kok ketawamu seperti Nurmala sih.”

Nurlaila dan ibunya Sukarsih akhirnya berpelukan karena teringat dengan tawa Nurmala yang dilakukan oleh Laila saudara kebarnya itu.

Hari Lebaranpun tiba. Waktu telah menunjukan jam 5 pagi. Bu Asih sibuk menyiapkan makanan yang akan dimakan setelah pulang sholat Idul Fitri nanti. Namun lain halnya dengan Laila. Ia malah sudah siap dengan baju baru yang di kenakannya lengkap dengan sandal yang ia beli di pasar kaget di pinggiran jalan dekat rumahnya. Sambil bergaya menenteng mukena dan sajadah di lengannya ia bercermin di dapan lemari bajunya. Tak jarang iapun senyam senyum sendirian seperti model majalah yang sedang di ambil gambarnya.

Tapi tiba-tiba ia ingat dengan saudara kembarnya Nurmala. Ia berbelok kebelakang melihat photo Nurmala saat jalan-jalan ke kebun binatang Ragunan. Ia pun membuka lemari baju nya untuk melihat baju Nurmala yang kalau dia masih hidup, ia akan seragaman dengan Nurmala. Tak sengaja, air mata Laila jatuh membasahi pipinya. Ia menangis pilu mengingat kenangan bersama Nurmala.

Mala, aku kangen sama kamu. Kamu inget enggak waktu kita ke kebun binatang raguanan, kamu berphoto bersama gajah, kamu sempat jatuh saat turun dari gajah. Aku mentertawakanmu sampai kamu nangis. Soalnya kamu engga ada takutnay sih. Kamu emang anak yang berani banget.”

Mereka akan lulus sekolah menengah pertama tahun ini. Namun karena takdir, Nurmala harus meninggalkan Nurlaila saudara kembarnya untuk selama-lamanya. Tak salah jika Laila harus terus bersedih, karena baru 2 minggu yang lalu Nurmala dikuburkan. Katanya orang yang ditinggal pergi anggota keluarganya, pasti sedihnya baru hilang selama setahun. Wajar saja lah kalau Nurlala bersedih.

Tapi, dia tetap akan berangkat bersama mamahnya ke mushola untuk sholat id walaupun tanpa Nurmala.

Ayahnya sudah berangkat lebih dulu karena memang setiap tahun, setiap sholat id, jam 5 pagi masjid sudah penuh terisi oleh jamaah. Pak Imran tidak ingin kehabisan tempat. Setahun sekali, hanya untuk sholat 2 rakaat saja, atau duduk di masjid sebelum sholat di mulai tak masalah bagi pak Imran berangkatpagi-pagi walaupun ia kadang duduk sambil terkantuk-kantuk. Biasanya ia memang sering pergi pagi-pagi tapi untuk berjualan sayuran di pasar Induk keramat Jati. Bukan berdiam diri namun menawarkan dagangannya kepada para pembeli.

Mah, ayo berangkat. Yuli dan Sari sudah berangkat tuh.”

Ia, mamah mau ganti baju dulu sebentar.”

Laila dan mamahnya pergi ke mushola yang hanya dipenuhi oleh para wanita. Memang tempat sholat id wanita dan pria itu berbeda di daerah ini. Imamnyapun tentunya seorang wanita. Tak terlihat laki-laki dewasa disana kecuali anak-anak kecil yang bermain-main bersama teman sebayanya. Hal itu memang lazim dilakukan oleh ibu-ibu yang memiliki anak kecil. Mereka selalu membawa anak-anak mereka kesana.

Setelah kurang lebih satu jam, sholat id pun selesai. Para warga bersalaman sambil mengucapkan kata maaf dengan lengkap yaitu mohon maaf lahir batin. Kalimat itu pasti lengkap diucapkan. Tak mungkin hanya mohon maaf saja atau lahir batin saja. Kalimat itu sangat dalam sekali maknanya. Dimana setiap manusia pasti berbuat dosa. Dan Lebaran adalah momen yang paling teoat untuk bermaaf maafan. Aneh rasanya jika tiba-tiba meminta maaf bukan di hari lebaran. Ya memang engga ada sakahnya sih, Tapi sedikit sekali nampaknya hal tersebut dilakukan. Apa lagi kaum ibu-ibu yang senangnya ngerumpi sana-sini. Atau menyimpan rasa iri atau dengki jika melihat tetangganya membeli barang baru. Tak tahan jika melihat emas 24 karat bergelantungan di leher maupun ditangan. Belum lagi jika anak-anak mereka bermain kemudian bertengkar. Pasti keluar kata-kata tak enak didengar yang tak berani diucapkan jika di depan ibu-ibu lain.

Itulah manusia. Temapatnya dosa dan khilaf.

La, nanti kita ke kuburan saudaramu yuk. Nurmala.”

Sambil berderai air mata, bu Sukarsih tak melakukan apa-apa hanya duduk dirumahnya yang sederhana menangis teringat kembali pada anaknya yang belum lama meninggal.

Ia mah, nanti kita kesana lagi.” Sahut pa Imran sambil menampa piring berisi ketupat sayur. Pak Imran memang tak begitu menampakan kesedihannya yang berlarut-larut seperti istrinya, Sukarsih. Mungkin karena pak Imran laki-laki. Biasanya laki-laki lebih tegar menghadapi kesedihan.

Nanti saja makannya, kita kesana dulu.” Pinta bu Sukarsih.

Mah, mamah kan belum sarapan. Kita makan dulu.”

Bu Sukarsih pergi ketempat tidur memilih untuk tidur ketimbang harus makan. Mungkin ia capek juga karena lama bersalaman dengan para tetangga.

Mah, mau kemana?” Tanya Laila.

Mamah pengen tiduran dulu sebentar.”

Dikamar tidurpun bu Sukarsih terus mengeluarkan air matanya.

Tiba-tiba terdengar nada dering “cari jodoh” dari band Wali!

Hallo, assalamualaikum.”

Waalaikumsalam. Ini kak Rahamat. De, bapak mana?”

Ternyata kakak Nurlaila yang bernama Rahmat menelpon dari Bogor. Dia bekerja sebagai buruh pabrik disana.

Pak, saya sudah dapat uang pesangonnya, tapi saya baru mau pulang besok. Saya mau ke rumah teman dulu. Mau ngambil baju saya disana.”

Hari Lebaran memang Rahmat tidak pulang kerumah. Bukan karena dia tidak kangen bertemu keluarganya, bukan tidak mendapat libur lebaran untuk mudik atau betah bekerja disana, tapi karena sebentar lagi ia akan liburan dirumah sepuasnya. Katanya ada 500 kariawan yang mendapat surat. Bukannya surat perpanjangan kontrak kerja, tapi malah surat PHK atau perpanjangan masa nganggur. Itu artinya, setelah lebaran ini kak Rahmat berhenti bekerja karena diPHK.

ooh ya sudah. Memangnya banyak bajunya mat?”

luamayan pak, pakaian dalem juga ada.”

ooh ya sudah hati-hati di jalan yah. Jangan ngelayap kemana-mana lagi. Langsung pulang aja.”

Jarak dari Bogor ke Jakarta memang tidak jauh. Namun karena harus menunggu uang pesangon yang baru akan dibayarkan setelah lebaran, jadi Rahmat harus bersabar untuk menikmati lebaran dirumah. Pak Imran dan istrinya sudah tahu jika Rahmat akan di PHK. Dan tahu juga jika ia akan pulang setelah lebaran 1 hari. Maknya bu Sukarsih tak begitu memperdulikannya. Uang pesangonya memang tak seberapa. Mungkin hanya cukup untuk makan 1 bulan saja. Tapi sayang jika tidak diambil.

Suasana duka tampaknya masih tetap meliputi rumah pak Imran. Selain kepergian Nurmala, ditambah lagi dengan kabar Rahmat di PHK. Banyak para tetangga yang bertamu ke rumah pak Imran. Tamu yang datang kebanyakan adalah teman 1 profesi pak Imran. Yaitu pedagang sayuran di Pasar Induk Keramat Jati.

“Pak Imran, kapan nih mulai ke pasar lagi?” Tanya temannya.

“Saya lagi nunggu kabar nih. Belum ada telepon dari pusat. Katanya barang yang dikirim nanti Cuma sedikit. Cabe merah tinggal nyisa sedikit”

“Iya nih saya lagi bingung.’

“Bingung kenapa pak?” Barang dagangan saya sudah habis. Mau belanja lagi barangnya susah. Anak saya lagi butuh uang buat bayar kuliahnya lagi. Wah..pusing saya pak.”

Emangnya engga nyisain dagangan buat di jual setelah lebaran?

Yang disisain nya ga ada pak Imran. “

Memang mau belanja apa pak? Nanti saya teleponin sekalian ke pusat. Mungkin bisa pesen buat situ.”

“Boleh deh pak. Tapi saya engga bayar kontan yah. Saya bayar separo dulu. Uangnya mau saya pake buat biaya kuliah anak saya. Tapiii kalau pak imran ada uang nganggur sih boleh di talangin dulu gitu. ”

“Wah, kalau gitu saya engga jamin bisa. Uang saya juga pas-pasan pak.”

“Ya sudah kalalu barangnya ada langsung teleponin saya yah. Lumayan lah walau sedikit. Yang penting bisa ada untung lah kalau ada barang.”

Suasana tiba-tiba berubah menjadi pembicaraan bisnis. Pak Juki yang juga seorang pedagang sayur, ngotot minta pa Imran menolong dirinya untuk bisa berjualan di Pasar. Untuk menambah penghasilan setelah lebaran, ia hendak berjualan namun barangnya susah didapat.

Akhirnya pak Imran pun dapat kabar dari temanya kalau barang sayur-sayuran yang di inginkan pak Imran setelah 2 minggu iya menunggu. Namun, barang yang biasanya bisa di antar ke pasar ini mesti di jemput oleh pak Imran sendiri. Karena kalau tidak begitu pak Imran akan di sodok orang lain. Seperti istilah mengatakan siapa cepat dia dapat.

Jam 5 pagi pak, Imran berangkat ke daerah brebes untuk membeli barang yang dia pesan dengan menggunakan mobil pick up yang di sewanya.

Bu, saya pergi dulu yah... jaga rumah baik-baik. Jaga Nurlaila juga.”

Iya pak. Tapi bapak memang mau lama disana?”

Yah engga sih. Do'akan saja mudah-mudahan cepet dapetnya”

Iya pak. Hati-hati yah.”

Iya bu. Nanti aku kabari kalau sudah mau pulang.”

Akhirnya pak Imran berangkat ke kota Brebes dengan menggunakan jaket hitam beserta topi hitam di kepalanya. Tak biasanya pak Imran harus menjemput barang-barang dagangannya itu. Biasanya ia hanya memesan dan barang langsung di hantarkan ke pasar. Mungkin karena barang-barang sayuran sedang sulit-sulitnya di dapat.

Pak Imran, sudah berapa lama jualan sayuran?” Tanya seorang supir di sebelah pak Imran.

Yah, semenjak saya menikah saja. Sudah 23 tahunan lah din”

Wah, sudah lama juga yah. Apa enggak bosan pak?

Kadang bosan juga sih din. Cuma udah kerasan jadi tukang sayur. Alhamdulillah ada aja untung yang bisa di ambil. Kalau mesti kerja kantorqan kan engga punya ijazah tinggi. Saya kan cuma tamatan SD. Maklum orang dulu. Sudah tamat SD saja sudah syukur.”

Iya ya, pak.”

Kalau kamu sudah lama jadi supir?”

Lama sih engga pak. Baru 5 tahun.”

Dalam perjalan menuju Brebes, Pak Imran dan udin sang supir berbincang-bincang mengenai pengalaman-pengalaman mereka. Tak ketinggalan dengan cerita anaknya Nurmala yang baru beberapa bulan yang lalu Meninggal dunia. Wejangan-wejanganpun diberikan pak Imran kepada Udin yang masih muda dan masih menitih karier.

Pak Imran memang sudah lama menjadi seorang pedagang sayur. Dan terbilang pedagang yang sukses. Namun karena ia memilih untuk hidup sederhana, jadi penampilannya biasa-biasa saja. Begitu juga kondisi rumah yang iya miliki. Ia ingin sekali anak-anaknya bisa hidup sederhana juga namun lebih sukses darinya. Kepada anak pertamanya Rahmat, harapanya ia bisa menjadi contoh bagi adik-adiknya. Pak Imran juga awalnya menginginkan Rahmat bisa kuliah dan bisa bekerja tidak seperti dirinya di pasar. Namun takdir berkata lain. Walaupun uang bisa dibilang ada, namun Rahmat tidak tertarik sama-sekali dengan kuliah.

Sudah 2 tahun ini memang usahanya mulai menurun. Selain barang-barang mulai melonjak naik, juga barang-barang yang sulit di dapat. Kalu tidak pintar-pintar mencari solusi, bisa kacau akibatnya. Banyak para pedagang yang gulung tikar karena hal ini. Pak Imran masih bertahan walau penghasilanya mulai berkurang.

Namun beda halnya dengan Laila. Dia anak yang rajin dan penurut. Ia ingin sekali mengenyam bangku kuliah. Sayang saudara kembarnya Nurmala pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu. Jadi ketika ayahnya bekeja, iya hanya bisa bermain bersama ibunya.

“Astagfirullohhalaziiiim....”

“Kenapa bu? Baju bapakmu ketinggalan La.”

“Yah...kok bisa bu.??”

“Dia cuma bawa tas yang isinya alat sholat dia.”

“Memang bapak mau lama disana yah bu?”

“Bapak sih bilangnya tidak. Tapi ini buat persiapan saja, kalau-kalau dia susah dapat barangnya.”

“Ya sudah, mudah-mudahan saja bapak bisa cepet pulang. Tidak lama-lama disana”

Bu Sukasih merasa bersalah karena lupa mengingatkan pak Imran untuk membawa baju gantinya. Tapi syukurnya pak Imran masih membawa perlengkapan sholatnya seperti sarung, sejadah dan pecinya.

Pak Imran memang terbilang seorang muslim yang taat. Dia tak pernah lupa untuk menjalankan sholat 5 waktunya. Begitu juga Bu Sukarsih.

Bu Sukarsih mencoba menghubungi pak Imran keesokan harinya.

“Kok tidak di angkat-angkat yah.?” Bu Sukarsih bertanya-tanya.

Bu sukarsih mulai khawatir kenapa hp pak Imran tak di angkat-angkat juga. Mungkin karena tak ada sinyal. Mengingat tempat yang didatanginya katanya masih perkampungan terpencil.

“La, coba hubungin bapak. Kok ibu coba engga nyambung-nyambung yah.”

Laila pun mencoba menghubungi bapaknya.

NOMOR YANG ANDA HUBUNGI SEDANG DILUAR JANGKAWAN....

“Wah, kayanknya engga ada sinyal Bu.”

“Yah, gimana dong La. Mungkin bapak sudah sampai Bu.”

“Iya mudah-mudahan.”

Kekhawatiran Bu Sukarsih dan Laila mulai memuncak saat setelah 2 hari tak ada kabar dari pak Imran.

“Terimakasih banyak pak.”

“Sama-sama pak Imran.” Pak Imran bersalaman dengan temanya.

“Din, saya mau sholat sebentar di mushola depan yah.”

“Iya pak.”

Setelah membawa barang bawaan yang dibelinya, akhirnya pak Imran kembali berangkat untuk pulang menuju Jakarta. Waktu itu menunjukan jam 7 malam. Pak Imran meminta Udin supirnya untuk berhenti untuk sholat sejenak.

“Pak, duluan saja. Saya mau nelepon istri saya dulu. Nanti saya nyusul,”

“Oh ya sudah, saya duluan yah.”

Pak imran memasuki masjid untuk sholat. Sedangkan Udin pergi menelepon istrinya.

“Pak sudah kabarin yang di rumah?”

“Belum din. Hp saya mati. Batrenya habis.”

Hp pak Imran ternyata mati. Batrenya habis. Dia tidak membawa alat untuk mencharger hp nya. Maklumlah, orang tua. Mungkin dia lupa. Tidak begitu peduli pada hal yang demikian. Bajunya juga tertinggal di rumah.

“Pake punya saya saja pak. Masih lumayan nih batrenya. Sebentar lagi juga mau abis sih. Hehe.. makanya tadi saya nelepon istri saya sebelum hp saya mati. Takut dia marah kalau saya engga ngasih kabar. !” Udin menawarkan.

“Saya lupa nomornya Din.”

“Oh kalau begitu, pindahkan saja sim-cardnya ke hp saya pak.”

“Ya sudah nanti di mobil saja Din. Kita berangkat saja dulu. Supaya cepet sampe.”

“Oh ya sudah kalau begitu.”

Akhirnya pak Imran memiliih untuk berangkat terlebih dahulu, setelah itu baru akan menghubungi keluarganya di rumah.

“Hallo. Hallo...”

“Assalamualikum Bu...”

“Iyyya...Pak..pak...Hallo...ha..ha..loo”

Nampaknya sinyalnya masih saja kurang bagus. Batre yang tersisa di hp udin pun lama-lama menghilang garisnya.

“Yah din, udah mau abis nih batrenya.”

Pak Imran berusaha mencobanya lagi.

“Hallo bu, ini saya. Saya sudah mau pulang!!!”

“Pak, lagi dimana?”

“Hallo bu, saya sudah mau pulang.”

“Iya pak. Sms saja yah. Suara bapak engga jelas.”

Akhirnya pak Imran berhasil mengabarkan istrinya Bu Sukarsih. Walaupun hanya sebentar. Dan pak Imran segera menekan-nekan huruf demi huruf yang ada di tombol hp milik Udin supirnya. Pak Imran hendak memenuhi permintaan istrinya yang meminta untuk kirim sms saja. Yang isi smsnya:

Bu, saya sudah mau pulang. Gimana kabar ibu dan anak-anak. Tunggu saja dirimah yah. Hp bapak mati. Batrenya habis.

Pak Imran menekan tombol “sent” dan sms itupun dikirimnya.

“Ini Din, makasih yah.”

“Iya pak. Sama-sama”

“Din, hati-hati yah. Saya mau tidur sebentar.”

Pak Imran tidur karena kelelahan. Sedang Udin tetap dengan setir yang dikendalikannya.

Tiba-tiba..

ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik.....!!!!

Mobil yang kendarai udin hampir saja menambrak motor didepannya.

“Asstagfirulloh..Din, ada apa?”

Pak Imran terbangun dari tidurnya.

“Mau nabrak pak.”

“Hati-hati Din. Apa kamu mau istirahat dulu?” tanya pak Imran.

“Engga pak. Terus saja. Anak istri saya sudah menunggu. Saya juga sudah kangen.”

“Kamu engga ngantuk kan Din?” Tanya lagi.

“Engga kok pak. Pak Imran tidur lagi saja.”

Dan tak disangka.....

NGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIK...BRAAK..BRAAK..BRAAK...!!!


“Pak..pak..???”

“ALLOHHUAKBAR...ALLAHH...”

Udin terselip di antara setir dan jok mobinya dan Pak Imran terbanting keluar dan menghantam mobil truk disampingnya dan terjepit di sana. Darahpun bergelimpangan menutupi wajahnya.

Ngiung.ngiung.ngiung.ngiung....

Sirine ambulan terdengan memecah malam. Orang-orang berdatangan berusaha menolong....

Polisi datang dan bergerak meolong. Mengevakuasi pak Imran, Udin dan supir truk bersama kendaraan mereka yang terlembar ke jurang.

Kabar pak Imranpun segera samapi ditelingan Bu Sukarsih...

“Ya...Allah! Innalillahi wainnailaihi rojiun!!!!”

“Bapaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak....!

Pak Imran ternyata meninggal dunia. Baru beberapa bulan yang lalu Nurmala, anak bu Sukarsih meninggal, kini Ia harus berikhlas diri untuk di tinggal oleh suaminya. Sms pak Imran adalah Sms terakhir yang diterima Bu Sukarsih.

Rahmat begitu terpukul mendengar kabar pak Imran meninggal karena ia merasa belum bisa membanggakan ayahnya itu. Begitu juga dengan Nurlaila... kini iya harus menerima kenyataan bahwa 2 orang yang dicintainya harus pergi dalam waktu yang tidak terlalu lama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar